Cerpen: Sebening Cinta
Sebening Cinta
(Karya: Nokman Riyanto)
Malam kian larut berselimut gelap ketika sekian banyak mata terlelap dan sedikit manusia yang bangun tuk bermunajat kepadaMu. Tiba-tiba aku terbangun, ya terbangun karena hal yang sama. Mimpi yang beberapa hari ini selalu muncul dalam tiap tidurku. Takut yang kurasakan saat mimpi itu datang. Ampuni aku ya Allah, ampuni. Aku tidak ingin itu terjadi pada orang tuaku. Ampuni aku ya Allah.
Malam semakin menggeliatkan hitamnya, namun mataku tak bisa lagi terpejam, aku masih takut dengan mimpi yang tadi. Mimpi yang seolah-olah nyata sekali. Tangan orang tuaku terbakar batu yang sangat panas sampai menghitam seluruh tubuhnya. Daripada aku melamun tak karuan akan mimpi itu aku bergegas ke belakang, ku ambil air wudhu. Usapan pertama di wajahku begitu sejuk, menyegarkan sekali seakan hati yang telah lama tanpa tandus tanpa kesejukan iman.
Rupanya memang akhir-akhir ini aku jarang sekali melakukan sholat malam. Sholat yang menjadikan hati ini merasakan kedekatan dengan sang illahi rabbi pencipta kita. Iya, bahkan sangat dekat. Di tambah lagi para malaikat-malaikatnya yang senantiasa memerikan rahmat pada siapa saja yang melakukannya. Dan allah azza wa jalla juga akan mengabulkan semua kesalahan dan doa-doa kita.
Ku lakukan sholat rekaat demi rekaat, paling tidak untuk membuat pikiran dan hati ini tidak takut lagi pikirku. Ku latunkan doa agar apa yang ku impikan tadi tidak terjadi pada orang tuaku. Aku takut sekali ya Allah. Kabulkanlah ya Allah.
“Arina, Arina bangun kamu sudah sholat subuh belum?” tangan ibu sambil mengelus-elus keningku.
“astaghfirullah, belum bu, rupanya Arina terlelap tadi bu setelah tahajud” ujarku.
“ayo segera bergegas, sholat bareng ibu. Bapakmu sudah duluan ke masjid”.
Waktu semakin siang, matahari mulai manampakkan senyumnya di atas horizon sehingga memerahkan muka dunia ini. waktunya untuk menunaikan salah satu kewajiban seorang anak kepada orangtuanya, yaitu menuntut ilmu. Berangkat sekolah hari ini tidak seperti biasa, rasanya tidak ada semangat sama sekali. Masih teringang betul apa yang di katakan ustadzah pengisi acara pada seminar kemuslimahan minggu kemarin. Apa yang harus aku lakukan kepada Reza. Apa yang aku perbuat akan hubungan ini. Aku sayang sama Reza tetapi aku juga cinta pada kedua orang tuaku. Aku tidak ingin apa yang ustadzah katakan terjadi pada orang tuaku.
Keputusan apa yang harus aku ambil. Rasanya berat sekali memilih antara kedua hal tersebut, bagai makan buah simalakama, tapi aku tetap harus memilih salah satu dari hal itu. Ku coba bilang dengan Reza baik-baik akan hubungan ini, tapi aku bingung bagaimana cara mengungkapkan hal ini padanya. Bilang langsung aku takut, bilang tak langsung takut merendahkan dia. Lamunanku di mobil begitu panjang pagi ini, tak terasa sudah sampai pintu gerbang sekolah.
Konsentrasiku buyar saat pelajaran, badanku di kelas tapi pikiranku entah kemana. Memikirkan bagaimana caranya mengungkapkan masalah ini pada Reza. Apa ketemu langsung saja ya, pikirku. “Jangan, jangan Arina”. Seperti ada yang membisik telingaku dari belakang. “kamu tidak bakal bisa mengungkapkan hal itu kalau sudah ketemu dia”. Benar juga pikirku.
Kalau aku ketemu Reza pastinya lupa akan hal itu karena keasyikan ngobrol kesana kemari. Lebih baik pakai cara yang lain saja. Semoga dia tidak tidak begitu marah padaku. Sudah ku pastikan saja nanti sore aku kirimkan email saja kepadanya. Biar aku jelaskan panjang kali lebar, semoga dia mau menerima.
Ku beranikan menulis email untuknya sore ini.
Dears Fahreza
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wa barakatuhu
Sebelumnya aku menyampaikan beribu maaf kepadamu. Aku menuli email ini karena aku tidak bisa menemuimu lagi. Aku akan meyampaikan satu hal kepadamu. dalam Beberapa hari ini aku selalu teringat perkataan ustadzah pas beliau mengisi acara di sekolah. Ternyata apa yang kita lakukan selama ini salah Za. Semoga nanti kita tidak mengulanginya lagi.
Apa yang kita lakukan ternyata dilarang oleh agama kita. Walaupun hubungan kita tidak di ketahui oleh kedua orang tua kita, tetapi Allah maha melihat. Beliau bilang segala sesuatu yg haram jadi halal kalo pacaran, bukan halal secara agama tetapi memang di halal-halalkan oleh kita. Apa yang kita perbuat seperti memegang tangan itu dilarang, coba kamu bayangkan apabila kita yang belu muhrim pegangan tangan nanti di kuburan, orang tua kita dibuka tangannya. Lalu malaikat Zabaniyah (malaikat yg tugasnya di neraka) datang ke kuburan. Malaikat datang dari neraka ke kuburan membawa kerikil dari neraka untuk orang tua kita. Betapa panasnya kerikil itu, sekali di taruh maka langsung gosong tubuh orang tua kita karena saking panasnya.
Aku ingin kamu tahu perasaanku saat ini, aku tidak mau itu terjadi pada orang tua kita. Kamu juga sayang mereka kan Za. Bukannya aku tidak sayang lagi denganmu tetapi ini semata-mata wujud bakti kepada orang tua kita, selagi masih kita bisa. Paling tidak kita tidak menambah beban orang tua kita di alam sana ya. Semoga kamu bisa mengerti apa yang ku tulis ini. oleh karena itu mulai hari ini sebaiknya kita putuskan hubungan ini. semoga kamu bisa menerima keputusanku. Dan marilah kita menata hati dan pikiran kita untuk masa depan kita.
Kalaupun nanti kita masih dijodohkan insyaallah pasti akan bertemu, kalaupun tidak akan semoga kamu nanti mendapatkan yang jauh lebih baik dariku. Kuselipkan disetiap doaku semoga kamu selalu dalam lindungan Allah.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wa barakatuhu
Dari
Sabrina Khaerunisa
Beberapa hari belum juga ada balasan dari Reza. Mungkin dia belum membaca email itu atau mungkin dia marah padaku. Handphoneku juga sudah beberapa hari ini tidak ada kabar dari ya. Ku coba hilangkan rasa ini, namun masih terasa sulit. Namun aku jangan menyerah, ku coba lakukan aktivitas lain demi menghilangkan dia dalam pikiranku.
Tepat satu minggu ku coba tengok emailku, ternyata ada balasan email dari nya. Ku coba menata hati saat membuka email tersebut. Mudah-mudahan dia tidak begitu marah padaku.
Dears Sabrina
Sabrina
Wa’alaikum salam warahmatullahi wa barakutu.
ku iringi email ini dengan doa semoga kau dalam limpahan rahmat Allah swt. Seminggu ini ku coba merasakan apa yang kamu rasakan selama ini. awalnya hati ini meronta, ingin marah kepadamu, kenapa kamu setega itu memutuskan hubungan ini begitu saja. Kita memang belum lama merasakan hubungan ini. Apalagi caramu memutuskan hanya dengan email.
Namun kucoba telaah lagi, berulang-ulang suratmu ku baca dengan seksama. Ku mencoba menjernihkan hati ini dalam membacanya. Aku tahu niatmu baik demi baktimu kepada orang tua kamu dan aku. Sehingga dengan berat hati ku tuliskan disini, aku menerima hubungan kita hanya sampai disini. Benar katamu kalaupun kita berjodoh pasti akan ditemukan lagi dalam kondisi yang berbeda, kalaupun tidak semoga dari kita mendapat pasangan yang lebih baik satu dengan lainnya.
Setelah ini kita biasa saja berteman seperti dengan yang lainnya ya. Anggap saja tidak pernah ada ikatan apapun diantara kita. Jaga baik-baik dirimu.
Wassalam
Fahreza
Setelah membaca email ini, hatiku tersayat perih sekaligus bahagia. Aku kehilangan salah satu orang yang aku sayangi untuk kedua orang tuaku yang lebih saku cintai. Aku pun kaget dengan apa yang dia katakan, menerima dengan lapang dada, tidak dengan amarah seperti mantan-mantan temenku.
Waktu terus berjalan, luluslah kita bersama. Aku melanjutkan ke FK UGM dan Reza setauku di UI tetapi entah jurusan apa, karena hanya tahu dari temannya. Kamipun sejak reza membalas email itu sudah tidak berhubungan lagi. Bak hilang dari permukaan bumi.
Selama kuliah akupun aktif di beberapa organisasi kampus maupun ekstra kampus baik yang umum maupun yang lebih mengedepankan aspek agama yaitu rohis kampus. Banyak hal yang harus aku lakukan, pikirku. Bahkan kadang-kadang lupa waktu. Aku tidak ingin hanya study oriented tetapi menjadi mahasiswa yang studinya bagus tetapi juga terasah dalam organisasi. Banyak hal yang tidak didapatkan di mata kuliah, kita dapatkan justru di organisasi. Itu menjadi salah-satu modalku nanti menjadi pelayan bagi masyarakat kalau sudah menjadi dokter.
Tahun demi tahun ku lalui tanpa ada hubungan spesial dengan lawan jenis. Aku hanya ingin yang terbaik dulu untuk orang tuaku selebihnya jodoh pasti nanti akan datang dengan sendirinya. Aku harus menjadi pribadi yang baik dulu untuk dijemput pangeran yang baik. Berbagai seminar kemuslimahan aku tandangi untuk menambah wawasan kemuslimahan dan bekal hidup di masa depan.
Tidak terasa 7 tahun aku menempa untuk menjadi dokter profesional. Setelah koas selesai aku disumpah untuk menjadi dokter yang profesional dan nanti dapat memberikan pelayanan yang prima untuk masyarakat. Akan ku pegang teguh janji itu.
Malam itu setelah pulang dari praktek aku di kagetkan dengan pertanyaan ayahku.
“Arina, kamu kan sekarang sudah dewasa, sudah 25 tahun. Ayah kira kamu sudah pas untuk menikah nak”
“apakah kamu sudah punya calon yang cocok menurutmu nak?” tanya ayahku.
“ayah apa-apaan sih, kok tanyanya gitu” jawabku dengan manja.
“bukan begitu sayang, ayah kan juga sudah tua. Ayah ingin segera melihat kamu bahagia dengan pasangan hidupmu”
“iya arina, ibumu juga ingin segera gendong cucu lho”. Sahut ibuku.
“Arina belum punya calon, yah. Kan ayah sama ibu juga tahu Arina tidak pernah jalan bareng dengan teman cowok atau bawa teman cowok ke rumah kan”.
“lantas bagaimana baiknya menurutmu?” tanya ayahku lagi.
“Nanti lah ya, kalau aku sudah benar-benar siap menata hati ini untuk menikah”. Jawabku.
“aku ke atas dulu ya yah”. Ku tutup obrolan itu dan langsung ke kamar.
Akupun naik dengan lesu. Calon darimana coba, selama ini kan aku mainnya sama Aisyah, Lena, Nadia, Lydya. Paling banter dengan Bagus itupun untuk beberapa praktek karena dulu satu kelas denganku. Lantas aku harus bagaimana ya Allah. Berilah petunjukmu.
Beberapa hari kemudian, ayahku memenangkan sebuah tender besar untuk beberapa proyek yang akan di bangunnya. Ada beberapa clien yang masih muda dan belum menikah. Merekapun keliatan baik dan alim. Mungkin salah satu ada yang cocok dengan anakku, pikirnya. Sambil bekerja dalam tim pembangunan itu, ayahku mencoba tanya-tanya kepada beberapa clien tersebut.
“Mas hasan, boleh bapak tanya?” ucapnya
“boleh pak, monggo”
“tapi ini agak pribadi lho”
“ah bapak, gak papa pak. Santai saja pak”.
“ok lah. Kamu sudah menikah atau belum?”
“untuk saat ini belum pak, tapi insyaallah bulan Oktober besok insyallah hari bahagia itu akan datang pak” jawabnya.
“oo sudah punya calon tho, dan bentar lagi menikah juga”
“iya pak, memang ada apa pak?”
“ah gak papa mas, memang mas hasan keliatan kalo belum menikah”. Jadi bener prediksi saya, kilahnya.
“ah, bapak bisa saja nih”
Sudah beberapa teman tim yang masih muda ayahku tanyai hal yang sama dengan mas Hasan itu. mulai dari mas Aris, namun katanya mas Aris sudah punya pacar. Mas Hendra juga sama, malahan sudah tunangan segala. Bahkan mas Akbar yang umurnya lebih mudah dari meraka, saat ayahku tanya malah katanya sudah punya anak dua.
Hari ini ayahku akan ketemu seorang arsitek katanya, siapa tahu masih lajang. Getol sekali rupanya ayahku itu. anaknya saja masih santai-santai pikirnya. Aku yakin kalau jodoh pasti akan datang pada waktunya. Benar adanya, ayahku memberanikan diri lagi tanya pada laki-laki itu. Setelah semua masalah pekerjaannya beres maka ayahku segera bertanya padanya masalah pribadi itu.
“Arina, tadi ayah sudah bincang-bincang dengan mas Zaman. Katanya dia belum punya calon istri”
“memangnya kenapa yah?”
“ya kalau mau, nanti ayah kenalkan dia sama kamu. Keliatanya dia baik dan sholeh lho rin”.
“kan baru penglihatannya ayah saja, belum tentu dia benar-benar sholeh yah”.
“ya paling tidak, kenalan dulu lah sama yang namanya Zaman itu”.
“ya boleh-boleh saja si yah, tapi tolong tanyakan ke dia dulu. Apakah mau menerima perempuan yang dulunya kurang baik namun sekarang masih berusaha menjadi lebih baik lagi”. Syaratku.
“baiklah besok kalau ketemu dengan Zaman, akan ayah tanyakan hal itu”
Betul ayahku memberanikan diri untuk tanya-tanya lagi kepada Zaman, mengenai masalah yang aku utarakan kemarin-kemarin.
“mas zaman, saya mau tanya sesuatu lagi boleh?”
“tanya tentang apa pak?, silahkan”
“apa benar kamu memang tidak punya calon istri atau pacar?’’
“o masalah itu to pak, saya kira masalah apa” jawabnya.
“iya, mas”
“jujur pak dulu memang saya punya teman dekat waktu SMA, namun setelah itu saya hanya fokus untuk kuliah saja sambil bantu-bantu di lembaga zakat dan kemanusiaan pak, setelah lulus ya bekerja di sini pak dan alhamdulillah akhirnya bisa bertemu dengan bapak disini. saya belum pernah mencoba untuk membuka hati lagi untuk perempuan lagi pak selama ini, karena memang kata teman-teman saya, kamu pasti nanti akan mendapatkan jodoh yang baik kalau kamu baik terlebih dahulu, sehingga saya lakukan dulu perbaikan pada diri saya pak baik secara fikriyah, amalan maupun yang lain. Jadi saya mencoba menjadi sekuat tenaga, masalah jodoh nanti semoga bisa menerima saya yang masih banyak belajar ini pak” jawabnya
“o begitu, lantas rencanamu ke depan bagaimana mas?”
“maksudnya pak?”
“maksudnya rencana kapan mau melepas masa lajangmu itu?”
“sampai saat ini belum ketemu jodohnya pak”
“begini mas saya ada kenalan, perempuan baik-baik, dari keturunan baik-baik juga. Dia lulusan kedokteran dan sekarang sudah mulai praktek. Dia umurnya mungkin beda tipis lah dengan kamu. Kalau menurut saya dia cukup sholehah. Bahkan saya lihat dia belum pernah membawa laki-laki kerumahnya mas. Bagaimana mungkin mas tertarik dengan perempuan itu”
“kalau dari cerita bapak, menarik juga perempuan itu, tapi apa ya mau dengan saya pak. Saya kan hanya pegawai rendahan di kantor sini pak. Masih arsitek junior dan ilmu agamanya juga masih cetek pak”.
“gak lah mas, menurut saya mas Zaman ini cukup sholeh dan masalah pekerjaan mas, perempuan itu tidak begitu masalah. Asalkan kamu mau menerima dia apa adanya. Jawab ayahku.
“O iya mas ada titipan pertanyaan untukmu mas. Dia bertanya Apakah kamu mau menerima perempuan yang dulunya kurang baik namun sekarang masih berusaha menjadi lebih baik lagi?’’
“kalau pertanyaan itu si tidak masalah bagi saya pak, kita membina rumah tangga kan tidak hanya ingin enaknya saja. Tidak mencari yang benar-benar perfect pak. Karena yang sempurna hanya Allah kan pak. Saya juga mencari seorang calon pendamping juga yang masih mau berusaha belajar bersama-sama mengarungi bahtera yang kita juga belum tahu kedepannya seperti apa pak”.
Hebat ini anak, saya kagum dengan pemikirannya. Jarang ada anak jaman sekarang yang seperti itu. pikir ayahku.
“pak, maaf pak. Kok melamun pak.”
“ah, maaf mas. gak papa”.
“kalau begitu, apakah kamu mau dengan perempuan itu mas, kalau iya nanti saya kenalkan dengan dia. saya yang jamin deh mas kalau perempuan itu insyaallah layak buatmu dan keluargamu. O iya nama perempuan itu Arina mas”.
“waduh pak, kalau untuk menikah saya harus istikharah dulu pak”.
“oke mas, butuh berapa hari kira-kira mas untuk istikharah?”
“walaupun saya belum mengenalnya sama sekali, mudah-mudahan saya bisa menjawabnya kurang lebih sebulan pak. Insyaallah saya percaya dengan bapak. Saya yakin calon yang bapak utarakan tadi baik.”
“ baik mas, seminggu ya”
“insyaallah pak”.pungkasnya.
Sebulan sudah aku dan ayahku menunggu jawaban dari mas Zaman. Akupun mulai ragu. Apakah dia benar-benar serius dengan apa yang dia ucapkan ke ayahku. ini sudah lebih dari sebulan belum juga ada jawaban. Akupun bilang ke ayahku.
“yah, apakah kita masih harus menunggu jawaban dari mas Zaman? Tanyaku.
“ya kita nunggu dulu sehari lagi ya rin”
“aku mulai ragu yah, apakah dia memang benar-benar serius dengan apa yang ayah tawarkan kepadanya”
“ya kita tunggu saja lah rin”
Tiba-tiba hp ayahku berbunyi.
“Sebentar ya rin, ayah angkat dulu”.
“hallo, bagaimana kabarnya mas?”
“baik pak, alhamdulillah. Mohon maaf pak baru kasih kabar ke bapak tentang masalah yang kemarin. Beberapa hari lalu saya keluar pulau pak dan di sana tidak ada akses telepon jadinya tidak bisa kasih kabar ke bapak, sekali lagi maaf pak”
“o begitu, iya gak papa mas. Saya kira kamu gak serius mas”.
“sekali lagi maaf pak”
‘’baik mas bagaimana tawaran saya kemarin?”
‘’Setelah istikharah pak, insyaallah saya mencoba meyakinkan diri saya untuk membuka hati ini untuk perempuan yang bapak kenalkan ke saya pak. Walaupun wajahnya saja saya belum tahu insyaallah saya siap pak. Siapa pak kemarin namanya?”
“Arina, mas”
“o iya Arina”
“lantas bagaimana lanjutannya mas?”
“saya sudah katakan ke orang tua saya pak, kalau berkenan nanti orang tua saya akan langsung melamar Arina pak, semoga bapak nanti bisa juga membantu saya pak”.
“insyaallah mas, kapan rencara kamu melamar mas nanti saya sampaikan ke Arina dan keluarganya”.
“kalau tidak ada halangan hari jum’at minggu depan pak. Ba’da jumatan pak”.
“ok mas insyaallah, saya kasih alamat ananda Arina ya mas”.
“sebentar pak saya tulis dulu”.
“ok mas sudah siap ya, alamatnya Jalan Teratai No 97 perumahan Puri Bukit Indah Jakarta Selatan mas”.
“insyaallah pak, terima kasih banyak pak. Saya tunggu bantuannya pak”.
“iya mas saya tunggu disana ya”
Hari jum’at itupun datang, keluarga Arina sudah siap-siap menerima tamu agung yang akan melamar putri kesayangannya. Dan tamu itupun datang dengan rombongan yang tidak begitu banyak. Hanya keluarga inti dan beberapa kerabatnya. Salah satu perwakilan rombongan mengutarakan niatnya untuk melamar ananda Arina untuk nak Zaman. Yang menerima langsung rombongan adalah Pak Shidiq. Iya pak Shidiq adalah ayahnya Arina. Zamanpun terkaget-kaget dengan hal tersebut.
Pantesan pak Shidiq tahu persis perempuan yang bernama Arina itu, ternyata dia putri kandungnya.
“baik nak Zaman, yang akan menikah kan putri saya. Tentunya yang menerima kamu untuk jadi imamnya adalah Arina. Makanya saya tanyakan dulu ke Arina ya, apakah dia mau menerima kamu atau tidak”
“Bu tolong panggilkan Arina kesini”. Tambah ayahku.
Tibalah Arina di ruang tamu itu.
“Subhanallah” pikir Zaman
Sepintas seperti Sabrina teman SMA dulu yang pernah memutuskanku waktu itu. mengapa bayangan dia seolah-olah datang di saat aku akan membuka hati untuk wanita lain. tapi ini bukan bayangan. Ini nyata dia memang benar-benar Sabrina
Dan Arinapun juga terkaget, mengapa orang ini seperti Reza temanku dulu. Mengapa bayanganya datang dihadapanku saat ini ya rabb. Tapi ini bukan bayangannya, ini nyata dia memang Reza yang ku kenal dulu.
“Nak zaman, ini anak saya Arina atau Sabrina Khairunisa.” Jelas ayahku.
“Subhanallah, pak. Kalau Sabrina ini sudah saya kenal dulu waktu SMA pak. Ini perempuan yang dulu pernah saya ceritakan ke bapak dan setelah itu tidak ada perempuan lain di hati saya pak.”
“o iya mas, subhanallah.”
“karena alasan agama dulu saya dan Sabrina lebih untuk memutuskan hubungan pak, dan sekarang dipertemukan lagi disini dan saya tidak tahu bahwa yang saya lamar adalah dia”.
“lantas bagaimana Sabrina, apakah kamu mau menerima Fahreza Akhiruz Zaman ini menjadi suamimu?” tanya ayahku.
“Insyaallah yah, Arina siap dan menerima mas Zaman menjadi suami Arina”.
“Alhamdulillah” terengar suara bersamaan di ruang tamu itu.
Dan akhirnya ditentukanlah hari pernikahan antara Arina dan Zaman itu.
Hari bahagia itupun datang dan dengan lantang Zaman mengucapkan ijab qobul
“Ankahtuka wa Zawwajtuka Makhtubataka Sabrina Khairunisa Binti Shidiq Nurhakim bi mahri mushaf alquran wa alatil ‘ibadah haalan” dengan lantang ayahku mengucapkan
“Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan” jawab mas Zaman dengan lantang.
Bagaimana saksi apakah sah.
“sah”. Jawab serempak para saksi.
“Baaarokalloohu Laka Wa Baaroka 'Alaika Wa Jama'a Bainakumaa Fiii Khoirin.
Mudah-mudahan Allah memberkahi engkau dalam segala hal (yang baik) dan mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan. semua hadirin mengucapkan Aamiin”.
Posting Komentar untuk "Cerpen: Sebening Cinta"